Minggu, 13 September 2015

Renungan : Jan Koum



Jan Koum, pendiri  WhatsApp, lahir dan besar di pinggiran kota Kiev, Ukraina, dari keluarga yang relatif miskin. Saat usia 16 tahun, ia nekat pindah ke Amerika, demi mengejar apa yang kita kenal sebagai “American Dream”. Pada usia 17 tahun, ia hanya bisa makan dari jatah pemerintah. Ia nyaris menjadi gelandangan. Tidur beratapkan langit, beralaskan tanah. Untuk bertahan hidup, dia bekerja sebagai tukang bersih-bersih supermarket. “Hidup begitu pahit”, Koum membatin. Hidupnya kian terjal saat ibunya didiagnosa kanker. Mereka bertahan hidup hanya dengan  tunjangan kesehatan seadanya. Koum hampir tidak lulus dari sebuah SMA di Mission Viejo, California, lalu koum kuliah di San Jose University sambil bekerja sebagai penguji keamanan di Ernst & Young.

Tapi kemudian ia memilih drop out, karena lebih suka belajar programming secara autodidak.
Pada tahun 1997, Jan Koum dipekerjakan oleh Google sebagai teknisi infrastruktur. Ia pun bertemu dan berteman akrab dengan Brian Acton saat bekerja di Ernst & Young. Karena keahliannya sebagai programmer, Jan Koum diterima sebagai engineer di Yahoo, dan bekerja disana selama 10 tahun. Setelah resign dari Yahoo, keduanya sempat melamar ke facebook yang tengah menanjak popularitasnya itu, namun ditolak. Facebook mungkin kini sangat menyesal menolak lamaran mereka.

Pada bulan Januari 2009, Koum membeli Iphone dan menyadari bahwa App Store yang saat itu berusia tujuh bulan akan menggebrak industri aplikasi dunia. Ia mengunjungi  temannya, Alex Fishman, dan keduanya berdiskusi selama beberapa jam seputar aplikasi koum di rumah Fishman. Pada hari ulang tahunnya 24 februari 2009, ia mendirikan WhatsApp Inc. di California. Setelah WhatsApp resmi dibeli Facebook dengan harga 19 miliar dolar AS atau sekitar Rp. 224 triliun, Jan Koum melakukan ritual yang mengharukan. Ia datang ke tempat dimana Ia dulu, saat umur 17 tahun, setiap pagi antri untuk mendapat jatah makanan dari pemerintah. Ia menyandarkan kepalanya ke dinding tempat ia dulu antri. Mengenang saat-saat sulit, dimana bahkan untuk makan saja ia tidak punya uang. Pelan-pelan air matanya meleleh. Ia tidak pernah menyangka perusahaannya dibeli dengan nilai setinggi itu.

Ia lalu mengenang ibunya yang sudah meninggal karena kanker. Ibunya yang rela menjahit baju buat dia demi menghemat. “Tak ada uang, Nak..”. Jan Koum tercenung.

Rasul Paulus pernah mengemukakan bahwa hidup setiap orang percaya adalah lebih dari pemenang (Roma 8:37). Kata “Pemenang” dalam bahasa Yunani adalah “Nikon”, yaitu seorang yang oleh kasih karunia Allah yang diterimannya melalui iman kepada Yesus Kristus telah mengalami kelahiran kembali (regenerasi) dan tinggal tetap di dalam kemenangan atas dosa, dunia dan iblis. Maka jangan pernah lelah untuk hadir dan berjuang dalam kasih karunia-Nya sebab diujung perjuangan itu selalu ada KEMENANGAN.

Sabtu, 12 September 2015

Renungan : Pelayan yang Baik Hati




Bertahun-tahun dahulu, pada malam hujan badai, seorang lelaki tua dan istrinya masuk ke sebuah lobby hotel kecil di Philadelphia. Mencoba menghindari hujan, pasangan ini mendekati meja resepsionis  untuk mendapatkan tempat bermalam.
“Dapatkah anda memberi kami sebuah kamar disini?” tanya sang suami.
Sang Pelayan, seorang laki-laki ramah dengan senyum memandang kepada pasangan itu dan menjelaskan bahwa ada tiga acara konvensi di kota. “Semua kamar kami telah penuh”, pelayan berkata. “Tapi saya tidak dapat mengirim pasangan yang baik seperti anda keluar kehujanan pada pukul satu dini hari. Mungkin anda mau tidur di ruangan milik saya? Tidak terlalu bagus, tapi cukup untuk membuat anda tidur malam Ini.”

Ketika pasangan ini ragu-ragu, pelayan muda ini membujuk. “Jangan khawatir tentang saya. Saya akan baik-baik saja”, kata sang pelayan. Akhirnya pasangan ini setuju. Ketika pagi hari saat tagihan dibayar, laki-laki tua itu berkata pada sang pelayan, “Anda seperti seorang manager yang baik yang seharusnya menjadi pemilik hotel terbaik di Amerika. Mungkin suatu hari saya akan membangun sebuah hotel untuk anda.” Sang pelayan melihat mereka dan tersenyum. Mereka bertiga tertawa. Saat pasangan ini dalam perjalanan pergi, pasangan tua ini setuju bahwa pelayan yang sangat membantu ini sungguh sesuuatu yang langka, menemukan seorang yang ramah bersahabat dan penolong bukanlah suatu hal yang mudah.

Dua tahun berlalu. Sang pelayan hampir melupakan kejadian itu ketika ia menerima surat dari laki-laki tua tersebut. Surat tersebut mengingatkannya pada malam hujan badai dan disertai dengan tiket pulang pergi ke New York, meminta laki-laki muda ini datang mengunjungi pasangan tua tersebut. Laki-laki tua ini bertemu dengannya di New York, dan membawa dia ke sudut  Fifth Avenue and 34th Street. Dia menunjuk sebuah gedung baru yang megah disana, sebuah istana dengan batu kemerahan, dengan menara yang menjulang ke langit. “Itu,”kata laki-laki tua, “adalah hotel yang baru saja saya bangun untuk engkau kelola”.

“Anda Pasti sedang bergurau,” jawab laki-laki muda. “Saya jamin, saya tidak,” kata laki-laki tua itu, dengan tersenyum lebar. Nama laki-laki Tua itu adalah Wiliam Waldorf Astor, dan struktur bangunan hotel megah tersebut adalah bentuk asli dari Waldorf-Astoria Hotel.

Laki-laki muda itu yang kemudian menjadi manager pertama adalah George C. Boldt. Pelayan muda ini tidak pernah melupakan kejadian yang membawa dia untuk menjadi manager dari salah satu jaringan hotel paling bergengsi di dunia.

Pelajarannya adalah ; Perlakukanlah semua orang dengan kasih, kemurahan dan hormat, dan anda tidak akan gagal. “Tetapi kamu tidaklah demikian, melainkan yang terbesar diantara kamu hendaklah menjadi sebagai yang paling muda dan pemimpin sebagai pelayan.” (Lukas 22:26)